SAPI NTT BUKAN SAPI JAKARTA

p

Ilustrasi
Ilustrasi

Kisruh kerja sama penyaluran sapi antara provinsi DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin membenarkan dugaan sebelumnya bahwa ketidakseriusan menjalankan kerja sama tersebut adalah penyebabnya. Siapa yang tidak serius? Tentu, akan muncul banyak persepsi untuk menjawab pertanyaan itu. Dua-duanya bisa saja dinyatakan tidak serius menggarap kerja sama tersebut. Tetapi, sebelum sampai pada penyimpulan soal pihak mana yang tidak serius dan pihak mana yang serius, catatan saya: ingat, itu Sapi NTT, Bukan Sapi Jakarta.

Sapi NTT Bukan Sapi Jakarta
Seorang Petani sedang menggembalakan sapinya di tepi sungai./Photo Credit: Indra Faisal

Beda Harga Picu Prahara

Kerja sama sapi yang awalnya bertujuan untuk menekan harga daging di ibukota, kini menyisakan soal. Perbedaan harga jual sapi antara pengusaha di NTT dengan harga yang ditetapkan pemerintah adalah penyebabnya. Pengusaha sapi NTT meminta agar harga sapi sebesar Rp 34.000 per kilogram (kg) timbang hidup di Karantina dan Rp 41.000-Rp 42.000 per kg timbang hidup sampai di Jakarta. Alasannya, harga jual petani ke pengusaha mencapai Rp. 30.000. Sedangkan, Biaya angkutan dari petani ke karantina rata-rata Rp 2.000 – Rp 3.000 per kg. Keuntungan yang didapatkan pengusaha sekitar Rp 1.000 – Rp 2.000 per kg. Bila harga timbang di karantina di bawah Rp 34.000 dan di Jakarta di bawah Rp 41.000 maka pengusaha dipastikan merugi.
Menjawab permintaan itu, pemerintah hanya menyanggupi dengan harga sebesar Rp 31.000 – Rp 32.000 per kg di Karantina dan Rp 35.000 per kg sampai di Jakarta. Melihat harga yang ditawarkan pemerintah kepada pihak pengusaha tersebut, pengusaha sapi NTT pun memutuskan untuk tidak menjual sapi ke pemerintah. Akibatnya, dua kali kapal pengangkut sapi dari NTT ke Jakarta “pulang kosong” ke Jakarta. Tak seekor sapi pun diangkutnya dari NTT. Hingga berakhirnya bulan Januari 2016, belum ada sapi yang diangkut dari NTT ke Jakarta. Atas kejadian itu, pemerintah merugi.

Good Political Will Jadi Kunci

Ketegangan antara pengusaha dan pemerintah tentu mengisyaratkan adanya ketidakseriusan pihak pemerintah provinsi NTT untuk memajukan sektor peternakannya. Hal yang paling mendasar yang perlu ditindaklanjuti oleh pihak pemerintah provinsi NTT ialah membangun sentra peternakan. Sentra peternakan akan sangat membantu pengusaha dengan mudah mendapatkan sapi yang berkualitas, dari petani yang terdampingi secara intensif.
Secara nasional, konsep pembangunan sentra peternakan sudah dituangkan dalam konsep sentra peternakan rakyat (SPR) yang telah dirilis Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan HewanKementerian Pertanian Republik Indonesia, pada Oktober 2015. SPR berangkat dari filosofi bahwa pembangunan peternakan dan kesehatan hewan yang menyejahterakan peternak rakyat hanya dapat diperoleh apabila pemerintah dan para pihak melakukan berbagai upaya yang memperhatikan prinsip satu manajemen, pengorganisasian (konsolidasi) pelaku, dan pemberdayaan peternak dalam rangka terwujudnya populasi ternak berencana.
SPR adalah pusat pertumbuhan komoditas peternakan dalam suatu kawasan peternakan sebagai media pembangunan peternakan dan kesehatan hewan yang di dalamnya terdapat satu populasi ternak tertentu yang dimiliki oleh sebagian besar peternak yang bermukim di satu desa atau lebih, dan sumber daya alam untuk kebutuhan hidup ternak (air dan bahan pakan).
SPR mengoptimalkan pemanfaatan sumber dana dan sumber daya menuju bisnis kolektif dari semua pihak, yaitu fasilitas dari: 1) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan berupa sarana dan pelayanan teknis; 2) Pemerintah Daerah berupa sarana dan pelayanan pemasaran; 3) Akademisi, Badan Penelitian dan Pengembangan,Badan Pengembangan SDM berupa pengawalan dan pendampingan SDM; 4) Kementerian/Lembaga Terkait berupa layanan ekonomi; dan 5) Swasta berupa asuransi, kemitraan dan investasi.
Dengan dukungan program sentra peternakan rakyat (SPR), Nusa Tenggara Timur sangat berpotensi menjadi daerah yang menimba kemajuan dari sektor peternakannya. Sentra peternakan sangat membantu pemerintah mendampingi petani dan mempertemukan kepentingan petani dengan pengusaha. Lantas, kerja sama penyaluran sapi antara NTT dan DKI Jakarta bisa menjadi pintu masuk untuk dibangunnya sentra peternakan di NTT. Persoalannya adalah apakah para pemimpin di NTT memiliki political will(kemauan politik) yang massif untuk mewujudkan agenda itu?
Mengafirmasi adanya keseriusan Gubernur NTT membenahi sektor peternakan NTT cukup sulit terjadi manakala pemerintah provinsi NTT lebih memilih memuluskan investasi pertambangan di NTT dari pada investasi di sektor peternakan. Padahal, tidak banyak kontribusi dari sektor pertambangan terhadap PDRB daerah itu. Yang terjadi malah kehancuran alam, rusaknya ekosistem dan merebaknya kekerasan terhadap masyarakat lingkar tambang.

Kemauan politik (political will) menjadi kunci hadirnya gebrakan-gebrakan besar untuk memajukan sektor peternakan di NTT. Tanpa kemauan politik dari tingkat gubernur hingga kepala desa di NTT, mustahil akan ada suatu kemajuan pada sektor peternakan di NTT.Dengan semangat dan kemauan politik itulah program pengelolaan peternakan di NTT dapat dikelola secara maksimal.
Akhirnya, Gubernur NTT perlu terus diingatkan bahwa yang jadi objek utama dari kerja sama penyaluran sapi antara DKI Jakarta dan NTT adalah sapi milik petani NTT, bukan milik Jakarta. Petani di NTT pantas mendapatkan keuntungan dari kerja sama penyaluran sapi antara dua daerah ini. Apatisme pemerintah provinsi NTT terhadap pembangunan sektor peternakan adalah alasan kemunduran daerah dan ketertindasan petani di NTT.//Sumber : natalisme.blogspot.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *