Press Release : Tanggapan LBH Manggarai Raya Terkait 40 Korban Keracunan Yang Dirawat Di RSUD Ruteng

LEMBAGA BANTUAN HUKUM MANGGARAI RAYA

(LBH MaRa)

Jl. Satar Tacik No. 108, Kumba, Kelurahan Satar Tacik, Kecamatan Langke Rembong,

Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia

Email : lbhmanggarairaya@gmail.com, FB : LBH Manggarai Raya, Hp. 082340732900 lbh-logo

SIARAN PERS

Kami mengikuti pemberitaan di media cetak dan media online yang memberitakan bahwa sedikitnya 40 orang korban keracunan makanan (sea food) masih dirawat di RSUD Dr. Ben Mboi Ruteng, lainnya sudah pulang karena pulih. Keluhan mereka sama yaitu pusing, mual, muntah, diare dan demam. Hari ini kami mendengar khabar bahwa salah satu korban keracunan telah meninggal dunia. Terkait hal tersebut, kami memberikan komentar sebagai berikut :

 

Bahwa kami atas nama pimpinan dan staff LBH Manggarai Raya menyampaikan rasa turut berduka cita kepada keluarga korban meninggal dunia. Semoga keluarga yang ditinggalkan dapat diberi ketabahan. Kepada para korban yang masih dirawat kami sampaikan rasa turut prihatin. Semoga para korban lekas sembuh dan kembali beraktifitas seperti biasa.

Bahwa kasus tersebut merupakan bukti kelemahan dinas / instansi terkait pemerintah dalam upaya membina pelaku usaha dan konsumen, termasuk pengawasan terhadap peredaran produk-produk makanan.

Dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), kasus tersebut kesalahan kolektif dan bertingkat yang telah dilakukan baik pelaku usaha maupun dinas / instansi teknis pemerintah. Karena itu, mereka harus mengganti rugi atas dampak yang telah ditimbulkan dan dapat dikenakan sanksi pidana, perdata dan administratif.

 

Pelaku Usaha :

 

Kami belum mengetahui secara pasti apakah Pemkab Manggarai telah memiliki Peraturan Daerah Tentang Izin Usaha Restoran, Rumah Makan, Tempat Makan dan Jasa Boga. Jika belum ada perda yang mengatur tentang itu maka menurut hemat kami dapat diberlakukan pengaturan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”).

p

Kewajiban pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 7 huruf d UUPK yang berbunyi: “Kewajiban pelaku usaha adalah menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; Dalam hal ini menurut hemat kami, termasuk pula menjaga agar tidak ada orang yang sengaja “meracuni” makanan yang dibuat. Mengenai bersalah atau tidaknya pelaku usaha dengan tidak melaksanakan kewajiban yang disebut dalam Pasal 7 UUPK atau ada orang lain yang memasukkan racun ke dalam makanan pelaku usaha memang dibuktikan lagi nantinya dalam proses hukum. Akan tetapi, jika makanan yang pelaku usaha sajikan itu membuat pelanggan keracunan, maka ada kemungkinan pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 8 Ayat (1) huruf a UUPK yang berbunyi : “tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan” dan/atau Pasal 8 Ayat (2) UUPK yang berbunyi : “pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”.

Jika pelalu usaha terbukti melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 8 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 8 ayat (2) UUPK tersebut, maka ancaman pidana yang dikenakan terhadap pelaku usaha berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UUPK yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan dapat dijatuhkan hukuman tambahan berdasarkan ketentuan Pasal 63 UUPK seperti pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen dan pencabutan izin usaha.

Secara perdata pelaku usaha dapat digugat oleh konsumen, sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama dan Lembaga Perlindungan Konsumen yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen.

 

Dinas / Instansi Teknis di lingkungan pemerintah terkait dengan fungsi pemerintah dalam Pasal 29 dan Pasal 30 UUPK tentang pembinaan serta pengawasan terhadap perlindungan konsumen. Dinas / Instansi teknis pemerintah tersebut merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas upaya pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen. Jika benar, produk makanan tersebut yang mengakibatkan jatuhnya korban telah mengantongi izin dari dinas / instansi terkait, maka mereka layak untuk diberikan sanksi tegas dari pihak berwenang. Sedangkan dinas / instansi terkait yang bertugas secara teknis melakukan pengawasan terhadap makanan, dianggap gagal untuk memberikan perlindungan pada konsumen. Sesuai Pasal 30 UUPK, perangkat-perangkat di pemerintahan seperti Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atau Sie Perlindungan Konsumen seharusnya secara komprehensif melakukan pengawasan peredaran produk/ barang dan jasa serta memberikan sanksi penerapan ketentuan yang tertuang dalam UUPK.

 

Kami berharap kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Kasus ini merupakan bahan pembelajaran bagi kita semua.

Ruteng, 16 November 2016

Salam hormat

Direktur LBH Manggarai Raya /

Pengacara Masyarakat Tidak Mampu di NTT

Ttd

Fransiskus Ramli, S.H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *