


Oleh : Hardi Sungkang
Perkembangan sastra akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang pesat. Perubahan setiap genre sastra seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia. Setiap manusia yang melakoni situasi sosial hidupnya setiap hari selalu melahirkan beragam jenis interpretasi terhadap kehadiran gejala sosial yang ada. Entah secara kritis maupun solutif. Lagi pula, sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar lahir dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia (Rene Welek, Austin Warren; Teori Kesusastraan).
Sastra memang memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu. Sastra mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi, kehadiran sastra merupakan suatu bentuk kajian halus terstruktur dan sistematis dalam realitas sosial masyarakat. Karena itu, sastra tidak pernah terpisah jauh dari kenyataan sosial masyarakat. Sastra pula tidak pernah menyajikan serta menganalisis bentuk kehidupan lain selain manusia.
Pada hakekatnya sastra lahir membahasakan kenyataan hidup sosial manusia. Dunia sastra pada zaman ini bukan lagi sesuatu yang sembunyi dari kehidupan sosial seperti pada masa penjajahan Orde baru. Di mana, para penyair tidak memberikan kebebasan. Suara dibungkam, kebebasan menulis dibatasi, apalagi bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kenyataan sejarah tersebut merupakan langkah awal yang menjadi pekerjaan sastra pada aliran zaman ini. Sebetulnya karya sastra dijadikan tumpuan dasar pemahaman akan keberadaan sosial masyarakat. Sastra hadir untuk mengungkapkan sesuatu yang tak terungkapkan dalam kehidupan sosial masyarakat.
KEBERADAAN SOSIAL MACAM APA?
Kita mungkin secara langsung tidak merasakan perkembangan sastra dalam realitas kehidupan manusia setiap hari. Begitu banyak kaum intelektual (penyair) yang berani membahasakan realitasnya dalam beragam bentuk genre sastra, entah puisi, prosa, cerita pendek, maupun tulisan berbau sastra lainya.
Penyair atau kaum intelek yang sering membahasakan kenyataan sosial dalam masyarakatnya adalah warga yang memiliki status khusus. Penyair memilih hak paten sebagai kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat untuk mengungkapkan serta menginterpretasi segala bentuk fenomena sosial masyarakat, meskipun hanya secara teoritis. (Ibid.,)
Namun, kenyataan menggambarkan bahwa satra bagi masyarakat belum sepenuhnya menjadi suatu pengetahuan yang membongkar rahasia sosial. Era ini adalah era yang ditandai era digital, era mafi kebijakan publik oleh pihak yang berkepentingan dalam lembaga sipil, era di mana humanisme disingkirkan bahkan dikucilkan oleh kekuasaan dan kepentingan, alam dipangkas habis-habisan tanpa inisiati konservatif, moralitas kemanusian terpekur layu ditelan nafsu dan birahi. Kenyataan sosial seperti ini seringkali menjadi alat yang membongkar kemapanan tatanan sosial masyarakat yang aman.
Setiap manusia entah secara sadar atau tidak telah dikendalikan oleh zaman ini. Hal yang sulit adalah tidak ada satu pun pengetahuan yang bisa menggambarkan keadaan ini secara halus penuh kritsi dan menukik sampai pada akarnya. Patut menjadi suatu kebanggan, sastra secara halus dan pelan hadir dengan sikapnya yang lugu melalui gambaran setiap karya yang dihasilkan oleh para pencinta sastra (penyair) untuk membongkar mafia sosial tersebut.
Mafia sosial yang pada akhirnya mematikan gerak langkah keberadaan manusia dalam hidup. Sastra berani menukik secara pelan dari pilihan bahasa yang paling sederhana untuk membongkar keberadaan sosial yang dialami masyarakat.
Masyarakat dengan mudah dan cepat memahami karena diksi karya sastra tidak terlalu bersifat ilmiah. Setiap jenis karya sastra selalu membahasakan gejala sosialnya dengan pilihan bahasa yang mapan, licik, sederhana, halus dan kritis, mudah dipahami, tetapi perlu analisis yang mendalam.
KARYA SASTRA MENGHASILKAN PENGETAHUAN
Karya sastra bukan idealisme belaka. Setiap jenis karya yang dilahirkan oleh penulis merupakan representatif dari realitas sosial masyarakat. Tak bisa dipungkiri, perkembangan karya sastra dapat mengubah realitas kehidupan manusia. Apalagi di tengah kegetiran perkembangan ilmu dan teknologi serta perjuangan kuasa yang terus menjegal perubahan positif.
Sastra hemat penulis lahir sebagai salah satu cabang pengetahuan yang bisa melahirkan pengetahuan yang sederhana. Sastra secara implisit menerangkan kenyataan yang sesungguhnya tentang arti suatu keberadaan sosial masyarakat. Keberadaan sosial suatu masyarakat yang tampil secara sederhana dapat menghasilkan pengetahuan melalui pergerakan sastra dalam setiapa karya yang dihasilkan. Pengetahuan tersebut ada berkat bantuan para peneyair yang menginterpretasikan segala pengalaman sederhana manusia serta fenomena alam yang terus berubah.
Seperti apa sebenarnya ilmu sastra, sehingga bisa menghasilkan pengetahuan yang luas dari segala gejala sosial masyarakat? Sebenarnya sederhana saja, di mana segala sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman keseharian manusia merupakan ilmu yang tidak pernah habis-habisnya. Ilmu tersebut ada karena interpretasi atau analisis imajiner para pemerhati sosial seperti para penyair.
Para penyair merasa bahwa segala sesuatu yang dialaminya atau dilihatnya sebagai sesuatu yang berpengetahuan, bukan feomena tanpa makna. Pengetahuan yang riil ada ketika realitas sosial tampak. Dalam dunia filsafat sering dinamakan sebagai ilmu empiris. Ilmu yang hadir dari pengalaman hidup masyarakat. Sedangkan dalam konteks sastra biasa disebut sebagai sastra realis. Sastra realisme menggambarkan kenyataan harian manusia. Di mana pengetahuan hadir dari pengalaman keseharian hidup masyrakat. Karena itu, sastra jangan hanya dilihat sebagai olahan kata semata. Berbaliklah untuk memaknai sastra sebagai khas pengetahuan, meskipun terlahir dari pengalaman hidup manusia. Pengalama adalah pengetahuan terbesar, hanya bergantung dari para interpretator


