



Suatu kali, sedang saya berada di dalam sebuah kendaraan beroda empat, tampak tiga orang bapak, yang kebetulan berada di dalam kendaraan yang sama dengan saya, terlibat dalam diskusi yang begitu seru. Mereka berdiskusi mengenai penyelenggaraan pemilu di daerahnya masing-masing. Pertanyaan yang menjadi indikator diskusi mereka adalah milik siapakah pemilu itu? Salah seorang di antara mereka mengatakan bahwa pemilu itu sepenuhnya bukan milik masyarakat tetapi milik partai politik; alasan mendasar menurutnya adalah banyak pemimpin partai politik yang memaksa mereka untuk menentukan hak suaranya. Dan yang lain mengatakan bahwa pemilu itu seutuhnya milik orang-orang yang mempunyai uang yang banyak; mereka memanfaatkan kebodohan masyarakat untuk menggolkan kebohongannya dan membeli suara mereka. Diskusinya berlangsung cukup seru dan serentak membuatku ikut berpikir. Sebenarnya apa yang terjadi dengan pemilu?; Diskusi ini terus berlanjut hingga ruang dan waktu mengharuskan kami untuk berpisah.
Saya mengaku belum puas dengan apa yang dibicarakan oleh ketiga bapak tersebut. Saya belum mendapatkan informasi yang lebih lengkap dengan apa yang dibicarakan oleh ketiganya.
Ketika saya menceritakan pengalaman itu kepada seorang rekan, saya malah dikatain badoh. “Emangnya Keraeng mau jadi pahlawan bagi mereka ka?” kata kawan itu dengan logat manggarainya yang kental. Masalah tersebut, menurut kawan saya tadi, sudah berlangsung cukup lama. Banyak masyarakat yang di bodoin. Bahkan, dipaksa untuk memilih paket tertentu. Akan tetapi, belum ada anggota masyarakat yang berani mengaduh persoalan ini kepada pihak yang berwenang. Mereka semua takut. Kata kawan itu pula.
Kawan ini lalu meneruskan ceritanya; beberapa waktu lalu, sedang dirinya berjalan menuju tempat pemilu, dia melihat beberapa anggota partai sedang memberikan uang sogokan kepada beberapa orang warga. Hal ini diketahuinya lantaran dia mendengar pembicaraan mereka. Bahwasannya, mereka diberitahu untuk memberikan hak suara mereka pada nomor urut yang ditentukan. Dan sebagai imbalannya mereka pun diberiakan sejumlah uang.
Dua hari kemudian, masih kata kawan saya, dirinya mendengar keluhan dari beberapa warga yang mengaku bahwa mereka diancam oleh beberapa partai politik untuk memberikan hak suaranya pada partai mereka. Apabila mereka tidak mengikuti kemauan partai politik tersebut maka mereka dianggap sebagai musuh. Hubungan diantara mereka pun menjadi renggang.
Mendengar cerita warga tersebut, kawan saya begitu marah, Inikah yang dinamakan dengan pemilu yang berkualitas?; Akan tetapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa lantaran dirinya hanyalah seorang tukang ojek. Hanyalah sebinkis harapan yang kini tersimpan di dalam hatinya “semoga suatu saat nanti masalah ini bisa terungkap dengan jelas.”
Fenomena Pemilu
Kemungkinan untuk mengekspresikan apa yang menjadi harapan dalam penyelenggaraan pemilu nampak masih jauh di bawah standar. Siapa di antara para warga yang sungguh merasakan bahwa momen pemilu adalah milik mereka?






Sistem penyelenggaraan pemilu di sini masih belum berorientasi kepada kebebasan dan keadilan, tetapi masih dititik beratkan kepada tindakan malpraktek. Sistem ini menyebabkan rakyat tidak lagi menaruh kepercayaannya pada sebuah penyelenggaraan pemilu. Dengan kata lain, minat mereka untuk mengikuti sebuah pemilu akan berkurang.
Pada beberapa kasus keadaannya lebih menyedihkan lagi. Beberapa partai politik mengungkapkan janjinya apabila mereka terpilih menjadi seorang pemimpin. Bahwasannya, mereka akan membawa perubahan yang cukup signifikan apabila masyarakat memilihnya. Apalagi beberapa tahun sebelumnya terdapat berbagai persoalan yang belum diselesaikan dengan baik oleh pemerintah yang berkuasa. Situasi ini pun dipakai oleh partai politik untuk menggolkankan kebohongannya. Masyarakat yang dengan pengetahuan seadanya begitu mudah mempercayai hal ini. Keadaan ini sebenarnya sudah menjalar mulai dari tingkat nasional hingga ke tingkat lokal.
Implikasinya pun begitu terasa apabila janji ini tidak dibuktikan atau diwujutkan oleh partai politik. Pemimpin yang berkuasa akan dengan mudah “ditendang” keluar dari jabatannya.

Sebuah Solusi
Menghindari berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan untuk terjadi, saya menyumbangkan suatu hal pokok yang mesti ada dalam sebuah pemilu, yaitu; adanya kebebasan dan keadilan.
Penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil memungkinkan setiap orang dapat berpartisipasi secara aktif. Hal ini menjadi intensi dari penyelenggaraan pemilu. Bahwasannya, pemilu mempunyai kewajiban untuk melindungi hak dan kebebasan setiap orang untuk menyampaikan apa yang menjadi harapannya. Hanya dengan kondisi yang demikian, bebas dan adil, masyarakat dapat mengekspresikan pandangannya tentang tugas negara yang sesungguhnya, yakni menjamin kesejahteraan warganya. Atas dasar ini masyarakat pun memberanikan diri untuk terlibat dalam menentukan sosok pemimpin yang dipercaya dapat mengembankan tugas tersebut. Tugas ini dinilai sangat berat dan membutuhkan sosok pemimpin yang bertanggungjawab.
Pada kenyataannya banyak pemimpin yang dilahirkan begitu saja atau merupakan hasil rekayasa elite politik tertentu. Hasilnya begitu terasa dalam kehidupan bermasyarakat terutama di kalangan masyarakat bawah. Banyak masyarakat yang hidupnya melarat dan merasa kurang diperhatikan. Pada taraf ini, eksistensi seorang pemimpin pun mulai dipertanyakan. Masyarakat mulai mengecek setiap program yang dijalankan oleh pemimpinnya. Jika ditemukan adanya ketimpangan, maka pemimpin tersebut bukan tidak mungkin harus diturunkan dari jabatannya.
Atas dasar ini saya menyarankan agar penyelenggaraan pemilu mesti dilakukan seminimal mungkin. Pihak-pihak tertentu tidak dibiarkan untuk mengatur atau membatasi kebebasan orang lain dalam menjatuhkan pilihannya. Karena jika halnya demikian maka pemilu yang diadakan tersebut dinilai tidak berbobot atau hanya sebuah sandiwara belaka. Pemilu hanya dianggap sebagai suatu formalitas saja, sebab hasilnya sudah dapat diprediksi. Hal ini tentunya membuat minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu semakin men

