



Perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta sedianya baru akan dilaksanakan pada februari 2017 nanti, namun suhu politik di ibu kota Negara Republik Indonesia itu kini sudah mulai memanas. Beberapa tokoh yang berikhtiar bertarung menuju DKI 1 kini mulai menyusun strategi, bermanuver untuk menarik simpatik rakyat dan juga mencuri perhatian partai-partai politik agar tertarik untuk mengusung sang bakal calon (balon). Bahkan ada balon yang mengklaim sudah dan akan diusung parpol tertentu, namun ada juga balon yang masih mencari kendaraan politik (baca: parpol) yang ideal untuk dilamar. Begitu pun seballiknya. Parpol-parpol kini sudah mulai mencari dan menjaring tokoh-tokoh yang sesuai dengan kriteria mereka untuk diusung maupun didukung menuju DKI 1 pada pilkada tahun depan.
Satu hal yang menarik dan menjadi bahan diskusi publik dalam konstelasi politik pilkada DKI Jakarta kali ini adalah fenomena calon petahana yaitu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ahok adalah salah satu calon terkuat yang memiliki popularitas dan elektabilitas tertinggi di bandingkan dengan beberapa tokoh elite politik lain -seperti Yusril Izha Mahendra, Sandiaga Uno, Adhiaksa Dault, Roy Suryo, Ahmad Dani, Lulung Lunggana, dll-yang ingin beraduh keberuntungan mewujudkan impian memimpin Jakarta dalam pilkada nanti. Tak ayal, Ahok bak magnet yang menarik perhatian elite-elite politik dan parpol-parpol untuk meminang dan mengusungnya dalam persaingan memperebutkan kursi kepemimpinan di DKI Jakarta. Namun setelah diwacanakan untuk bergabung dan diusung oleh PDIP, Ahok justru memilih untuk maju melalui jalur perseorangan atau independen dengan diback up oleh “Teman Ahok”.
Nah, persis keputusan Ahok ini telah menaikan tensi politik menjelang pilkada DKI. Wacana deparpolisasi kini menjadi trending topik dalam percaturan diskusi publik baik di media- media mainstream maupun media-media sosial dan online. Deparpolisasi adalah sebuah keadaan atau situasi dimana masyarakat mendelegitimasi peran dan fungsi parpol dalam ranah politik. Atau dengan kata lain sebuah upaya pembusukan parpol. Partai politik hendak dinafikan dan dipinggirkan dari perhelatan politik demokrasi. Wacana inilah yang terkemuka dan bahkan sengaja dihembuskan oleh lawan-lawan politik Ahok saat ini. Pilihan dan strategi politik Ahok untuk maju dalam pilkada DKI Jakarta 2017 melalui jalur independen dipandang sebagai fenomena atau sebuah upaya deparpolisasi. Namun muncul pertanyaan kecil dalam benak saya. Benarkah demikian? Apakah majunya Ahok dalam pilkada DKI Jakarta melalui jalur independen adalah sebuah upaya deparpolisasi?
Hemat saya tudingan tersebut sangat gegabah dan tidak memiliki dasar yang kuat. Mengapa demikian. Setidaknya beberapa poin berikut perlu dipertimbangkan. Pertama, kandidat maju melalui jalur independen itu merupakan strategi yang disediakan undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada. Oleh karena itu dia memiliki dasar hukum yang jelas sehingga bersifat legal konstitusional. Hukum dan undang-undang itu dibuat oleh DPR di Senayan yang merupakan representasi partai politik. Maka sungguh naif dan absurd jika kemudian parpol menuding calon independen sebagai bentuk deparpolisasi.Tuduhan itu bersifat inkonstitusional atau kehilangan legitimasi yuridisnya. Kedua, selain didukung tim relawan “Teman Ahok”, Ahok juga didukung penuh oleh Partai Nasdem sekalipun tidak mengusungnya. Hal ini nampak jelas bahwa Ahok tetap mengayomi parpol dan bersedia untuk didukung. Kalau beliau anti parpol mengapa ia menerima dukungan Partai Nasdem? Ketiga, wacana deparpolisasi juga erat terkait dengan keberadaan “Teman Ahok” sebagai tim relawan yang berkerja all out mencalonkan Ahok menuju DKI 1 melalui jalur perseorangan. Dalam pentas politik pilpres kali lalu, begitu banyak tim relawan yang mendukung kedua kandidat (Jokowi-JK, Prabowo-Hatta) Namun seperti kita ketahui, keberadaan mereka tidak pernah dipersoalkan oleh parpol. Malah sebaliknya parpol sangat mendukung kiprah mereka dalam mensukseskan dan memenangkan calon yang mereka dukung. Namun ketika muncul tim relawan Ahok yang tergabung dalam “Teman Ahok”, reaksi parpol sangat berbeda. Mereka dituding sebagai sebuah upaya deparpolisasi. Keempat, Seperti yang kita ketahui bahwa fenomena calon independen dalam pentas politik lokal terutama dalam pemilihan kepala daerah (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati serta wali kota/wakil wali kota) bukanlah hal yang baru di Indonesia. Berdasarkan catatan kompas, hingga 2015 terdapat 11 kepala daerah yang memenangi pilkada melalui jalur ini. Empat di antaranya menang pada pilkada serentak 2015 (kompas, 12/3/2016). Itu berarti Ahok bukanlah orang yang pertama dan satu-satunya yang maju bertarung dalam pilkada melalui jalur independen. Dalam pilkada serentak 2015 saja ada 37 pasangan calon perseorangan sekalipun hanya 14 persen saja yang keluar sebagai pemenang (Kompas, 14/3/2016). Namun selama ini fenomena calon independen tidak pernah dipersoalkan oleh parpol. Baru ketika Ahok memutuskan untuk maju melalui jalur ini dalam pilkada DKI Jakarta, wacana deparolisasi tersebut mulai mencuat dan menjadi sebuah topik yang sangat seksi diperdebatkan di gelanggang diskusi publik. Nah, di sinilah titik persoalannya. Mengapa baru kali ini calon perseorangan dipersoalkan dan bahkan dituduh sebagai upaya deparpolisasi? Tentu ada banyak faktor pendukung yang melatari persoalan ini. Terlepas dari tujuan lain yang mungkin ada dalam benak para elite politik partai-partai politik, saya melihat bahwa wacana deparpolisasi yang (sengaja) dihembuskan oleh parpol itu sendiri adalah sebuah intrik politik yang bertujuan untuk menyudutkan Ahok dan “Teman Ahok” (mungkin juga semua calon independen).
Berkat isu deparpolisasi itu, Ahok mulai ‘dipersalahkan’ oleh banyak pihak terutama oleh oknum-oknum yang selama ini membenci Ahok dan cara kepemimpinannya serta mereka yang merasa tidak nyaman dengan cara komunikasi Ahok yang ceplas-ceplos dan terkesan “kasar” itu. Selain itu isu deparpolisasi itu juga terjadi karena ada ketidakpuasan atau kekecewaan parpol tertentu yang terlanjur menaruh harapan pada Ahok untuk diusung oleh parpol bersangkutan. Namun nyatanya Ahok bersikeras untuk maju melalui jalur independen atau dengan kata lain meninggalkan parpol yang selain telah mendukung dia selama ini, juga berekspektasi tinggi akan mengusung beliau kembali menuju kursi DKI 1 untuk periode lima tahun ke depan. Tentu mereka sangat sakit hati dan marah dengan tindakan Ahok ini. Maka berbagai jurus pun mulai digunakan untuk menjatuhkan wibawa, popularitas dan integritas Ahok di mata publik. Bahkan bukan tidak mungkin mereka juga berusaha untuk membendung langkah Ahok dalam perhelatan politik pilkada nanti. Mereka mulai menggiring publik dengan membangun opini bahwa terjadi upaya deparpolisasi oleh Ahok (dan pasangan perseorangan lainnya) dalam pilkada DKI. Hal ini dapat dijadikan sebagai senjata pamungkas untuk menyerang beliau.
Melihat realitas persoalan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh partai-partai politik dalam menghadapi kandidat independen dalam percaturan politik elektoral terutama pilkada. Pertama, jalur perseorangan bukan deparpolisasi. Ini adalah jalur alternatif yang disediakan oleh konstitusi atau Undang-Undang untuk dapat mengakomodasi hak politik rakyat untuk terjun dalam pentas politik. Kemudian dalam konteks Ahok, ia tidak antipati terhadap partai politik karena selain pernah berkiprah aktif dalam partai politik (Golkar dan Gerindra), ia juga memilki relasi yang baik dengan tokoh-tokoh politik yang ada di partai politik. Ia memilih maju melalui jalur perseorangan pasti melalui berbagai pertimbangan politik yang matang, namun satu hal yang pasti bahwa selain hal itu bersifat legal konstitusional, pilihan itu juga adalah sebuah strategi politik beliau untuk bertarung dalam pilkada nanti. Partai politik perlu menghormati pilihan politik Ahok ini.
Kedua, partai politik tidak perlu galau dan cemas dengan kemunculan calon perseorangan. Parpol justru dituntut untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa partai politik mampu menawarkan calon atau figur yang berkualitas, berintegritas dan bermoral. Bukan calon yang cacat hukum dan moral atau calon yang koruptif. Partai politik harus mampu menjawab aspirasi publik dan tidak berpaling dari rakyat. Apabila hal ini benar-benar dilaksanakan oleh parpol, niscaya parpol akan dicintai rakyat. Ketiga, calon independen perlu dilihat sebagai sebuah otokritik terhadap partai politik sehingga parpol mau berbenah diri. Kemunculan calon independen terjadi mungkin karena ada ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja partai politik. Oleh karena itu, kemunculan calon independen dapat dijadikan sebagai momentum yang tepat bagi semua parpol untuk mengintrospeksi diri dan berani untuk membenahi internalnya terutama sistem kaderisasi dan penjaringan kepala daerah. Perlu adanya “revolusi mental” dalam diri partai politik itu sendiri sehingga mampu menjawab tuntutan masyarakat terutama pengoptimalan fungsi-fungsi parpol dalam panggung politik. Keempat, parpol tidak perlu menyerang calon independen karena semakin dia diserang dan dipojokkan, semakin masyarakat menaruh perhatian padanya. Hal ini tentu sangat menguntungkan dia dan di satu sisi timbul kebencian dalam diri masyarakat terhadap parpol yang besikap ofensif. Rakyat bisa saja bersikap antipati terhadap parpol karena merasa iba dengan calon perseorangan yang terus “digoreng” oleh parpol itu. Parpol hanya perlu berkonsentrasi membenah internal baik managemen dan sistemnya juga kapasitas Sumber Daya Manusia di dalamnya.
Beberapa hal di atas kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan partai politik dalam kontestasi pilkada agar tidak serta merta memvonis kandidat perseorangan sebagai upaya deparpolisasi. Karena pada dasarnya calon independen bukan deparpolisasi.

Oleh: Engkhy Arun
Mahasiswa STFK Ledalero,Maumere, Flores-NTT

