DERITA MIGRAN, DERITA GEREJA

Oleh: Hardy Sungkang

Alumnus STFK Ledalero

Sepanjang sejarah hidup manusia di dunia ini, persoalan tentang migran dan pengunsi tidak pernah berakhir. Fenomena migran dan pengunsi nyaris menutup semua persoalan politik, ekonomi dan hukum. Kenyataan bahwa, manusia tidak pernah berakhir tanpa peristiwa sejarah. Kematian imigran di tempat tujuan menjadi momok yang menakutkan. Lantas, apakah statistik perkembangan imigran setiap tahun menurun? Sama sekali tidak, bahkan sampai saat ini, migran dan pengunsi menjadi topik utama yang gencar didiskusikan.

Persoalan migran dan pengunsi di NTT menjadi hal krusial yang perlu dibenahi lebih serius dari berbagai instansi-instansi penting, seperti Gereja, Lembaga Sosial Masayrakat (LSM) dan pemerintah, serta lembaga penting lainya. Pertama, menoreh sikap pemerintah terhadap fenomena migran. Pemerintah semestinya tidak hanya berkutat pada pemenuhan finansial semata, tetapi perlu adanya sikap kritis untuk memerjuangkan hak alamiah tenaga kerja di hadapan hukum suatu negara, seperti hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak untuk memiliki. Sikap kritis mesti dikonkretisasi dalam menegakkan keadilan di hadapan hukum, entah status legal maupun illegal. Kedua, pihak Gereja. Gereja seyogyanya terus melakukan pembenahan secara serius, bukan hanya sebatas himbauan profetis semata, tetapi perlunya tindakan konkret dalam melawan terorisme pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak tenaga kerja.

Fenomena kematian migran di negara tujuan merupakan pukulan deras bagi moralitas Gereja lokal NTT. Gereja yang selama ini getol membongkar jeruji mafia tenaga kerja, tidak memberikan sumbangsi yang masif. Buktinya, masih banyak tenaga kerja asal NTT yang kehilangan nyawanya secara mysteri di tempat rantauan. Nyawa manusia yang legam tiba-tiba ditemukan dari kolam dan tempat lain dengan alasan kematian yang tidak jelas, dengan ciri-ciri tubuh yang tertusuk benda tajam (Bdk. Pos Kupang, Jumat, 20 November 2015, /berita/ “TKI Illegal Dibunuh di Malaysia”). Lantas, apakah motif semua peristiwa tersebut? Apakah yang harus diperjuangkan oleh Gereja?

Gereja adalah institusi kritis dan profetis yang menyatukan segala paham moral. Gereja secara moral sangat memperjuangkan keadaan alamiah manusia yang terus dililiti oleh derita penindasan dan ketidakadilan. Derita kaum migran menjadi tugas utama Gereja untuk mengaplikasikan moralitas etis manusia.

Derita Kaum Migran, Derita Gereja

Paus Fransiskus menyampaikan perhatian, cinta, dan keperihatinannya terhadap persoalan kaum migran dalam menyambut Hari Migran dan Pengungsi sedunia, 24 September 2013 yang lalu. Paus Fransiskus dalam sikap keprihatinannya mengungkapkan secara tegas tentang kondisi atau nasib kaum migran. Kaum migran dalam pandangannya bukanlah pion dalam papan catur kemanusiaan. Ungkapan demikian secara tajam ia lontarkan kepada majikan atau user para buruh. Paus Fransiskus menoreh keadaan buruh migran di tanah rantauan sebagai “buruh budak” serta komoditas dalam perdagangan manusia.

Perhatian profetis yang dihimbaukan oleh Paus Fransiskus merupakan bentuk kepedulian Gereja terhadap nasib migran dalam memerjuangkan hak alamiah. Himbauan Paus Fransiskus merupakan kecaman etis terhadap pelaku kekerasan kaum imigran. Paus Fransiskus sebagai representasi Gereja merasa ditindas karena derita migran merupakan kondisi riil derita Gereja.

p

Berhadapan dengan kondisi demikian, Gereja tidak dituntut untuk segara memenuhi kebutuhan finansial kaum buruh, tetapi Gereja dituntut untuk memerhatikan nasib-nasib manusia-manusia kecil demikian (migran dan pengunsi), karena itulah missi Gereja hadir di tengah dunia ini. Gereja diharapkan untuk terus menerus menghimbau moralitas manusia di hadapan sesama. Secara khusus pengakuan terhadap hak alamiah manusia. Manusia sebagai makhluk yang bebas, hidup dan ingin memiliki sesuatu yang berharga mesti dilindungi.

Himbauan Paus Fransiskus, secara jelas menunjukan bahwa Gereja tidak terpekur diam menatap problem migran dan pengunsi, tetapi Gereja memiliki perhatian yang intens terhadap nasib migran. Tidak hanya sebatas himbauan profetis, tetapi Gereja juga berusaha memerjuangakan hak mereka dalam bentuk yang manusiawi. Konkretnya adalah merasakan ada bersama mereka dalam menyuarakan keadilan.

Dalam rerum novarum, Gereja dituntut untuk terlibat dan campur tangan terhadap masalah kerja yang dipicu oleh pertikaian antara kerja dan modal. Gereja mesti menampilkan res novae – hal-hal baru secara pastoral untuk secara khusus menampilkan perhatian yang serius. Keterlibatan Gereja mengatasi persoalan sosial migran dan pengunsi merupakan bentuk solidaritas dan kepedulian terhadap sesama sebagai ciptaan yang sama.

Melindungi Hak Kaum Buruh

Pertama, hak hidup. Kaum migran dan pengunsi adalah manusia yang berakal budi dan memiliki daya kekuatan yang tiada taranya. Manusia sebagaimanapun status sosialnya, entah pekerja atau majikan, harus saling menghargai hak hidup masing-masing. Kaum buruh dan majikan merupakan satu ciptaan yang sama, yakni dari Allah sendiri. Kitab suci mengajarkan bahwa Allah membentuk manusia menurut citra-Nya sendiri. (Kej 9:6). Tuhan menciptakan manusia sebagai mahkluk yang berdaulat, dan semua hak manusia adalah hak mengembangkan diri sebagai citra Allah. Inspirasi Allah menciptakan manusia dengan tujuan agar manusia saling menghargai hak atas hidupnya masing-masing. Tidak ada manusia lain yang berkuasa terhadap hak hidup pribadi lain. Dengan demikian, Gereja hadir sebagai institusi profetis yang merangkul semua paham kesamaan atas hak tersebut, tanpa memandang status, suku, budaya, dan tempat asal masing-masing. Intinya, Gereja menghargai sesama sebagai satu ciptaan yang sama.

Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik centesiamus annus: “Hak atas kehidupan – menjelaskan hak hidup manusia harus dijaga sejak ia dikandung ibu, dijaga dalam lingkungan di mana ia hidup bersama keluarga dalam persatuan dan dalam lingkungan yang mendukung perkembangan keperibadian anak. Hak hidup berkaitan erat dengan hak untuk mengembangkan akal budinya maupun kebebasanya sendiri dalam mencari dan mengenal kebenaran. Dengan akal budi manusia dapat melampaui seluruh alam dan isinya. Dalam hal pekerjaan manusia; semua harta benda bumi didayagunakan sebagaimana mestinya dan dirinya diperoleh nafkah bagi setiap orang beserta mereka yang menjadi tanggungannya (keluarga). Konteks kematian kedua TKI illegal diluar negeri menjadi tantangan bagi Gereja zaman kini, khusunya Gereja NTT. Gereja sebagai pejuang hak hidup manusia tidak bisa berdiam diri dan berteori secara teologis biblis tanpa solusi. Gereja secara profetis harus terus bersuara dengan lantang tentang makna hidup yang bersolider, bermartabat, bersikap respek terhadap pribadi lain.

Kedua, hak atas kerja adalah hak fundamental bagi kelangsungan hidup manusia. Kerja merupakan cara untuk mempertinggi nilai martabat manusia. Gereja mengajarkan nilai kerja tidak hanya sebagai milik pribadi yang bersangkutan, tetapi juga hakekat kerja sebagai suatu keniscahayaan hidup untuk memenuhi kelangsungannya. Kerja sebagai suatu keniscahayaan memiliki arti ganda, yakni sebagai pemenuhan akan kehidupan keluarga dan sebagai wewenang atas harta milik. Karena itu kerja sebagai kerja dalam dirinya memiliki hak kodrati. Setiap orang tanpa terkecuali, harus memiliki hak untuk bekerja.

Kematian TKI di luar negeri adalah pelanggaran terhadap hak kerja tersebut. Salah satu tujuan utama migran ke luar negeri adalah untuk memperoleh hak atas kerja sebagai usaha pemenuhan kekurangan keluarga. Karena itu, Gereja mesti menoreh secara serius fenomena tersebut. Gereja diharapkan lebih produktif dalam mengentas persoalan destruktif seperti itu. Gereja tidak boleh berdiam diri, harus benar-benar membongkar jeruji mafia ketidakadilan dan kekuasaan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *