(Refleksi Lepas Atas Kesuksesan Owi/Butet di Olimpiade Brasil)
Kesemarakan dan kemeriahan Olimpiade Rio de Jeneiro 2016 yang berlangsung pada 5-21 Agustus silam telah usai. Pahlawan olahraga dari 207 delegasi telah kembali ke negara masing-masing untuk berjumpa kembali di Tokyo, Jepang, empat tahun mendatang. Amerika Serikat membuktikan dirinya sebagai negara adidaya dengan predikat sebagai juara umum dengan meraih 46 medali emas, 37 perak dan 38 perunggu. Sedangkan Kontingen Indonesia berada di peringkat 46 dengan 1 emas ENGKI ARUN
dan 2 perak. Sebuah prestasi yang kurang membanggakan mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa atau negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke empat setelah Tiongkok, AS, dan India. Hanya saja Indonesia masih lebih baik dari India (serta negara-negara Asia Tenggara lainnya selain Thailand) dalam pereolehan medali di Olimpiade Rio de Jeneiro 2016. Namun terlepas dari segala kekurangan yang dialamai oleh kontingen Indonesia, kita masih tetap bersyukur karena dari 28 atlet yang dikirim untuk bersaing dengan 10.000 atlet lainnya, mereka mampu membawa pulang 1 medali emas dan 2 perak.
Tanpa mengurangi rasa bangga dan terimakasih kepada lifter Sri Wahyuni dan Eko Yuli Irawan yang telah mempersembahkan medali perak untuk Indonesia, coretan kecil ini mengulas perjuangan dari pebulu tangkis Tontowi Ahmad (Owi)/Liliyana Natsir (Butet) selama Olimpiade Rio de Jeneiro 2016 yang mempersembahkan satu-satunya medali emas untuk Indonesia. Owi/Butet adalah ganda campuran yang telah bekerja sama sejak tahun 2010 dengan segudang prestasi yang telah mereka raih dan dua di antaranya adalah juara dunia 2013 dan meraih gelar juara All England 2014. Juara Olimpiade Rio 2016 melengkapi prestasi mereka sebagai pahlawan olahraga yang berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk seluruh rakyat, bangsa dan negara Indonesia.
Namun satu hal yang menarik di balik kesuksesan mereka di Olimpiade Rio 2016 ini yaitu bahwa mereka sebenarnya tidak diunggulkan untuk meraih emas. Hal ini dilatari oleh beberapa faktor yaitu, pertama, mereka pernah gagal di semi final Olimpiade London 2012. Kedua, selama tahun 2015 prestasi mereka tidak konsisten dan selalu gagal di turnamen besar, misalnya mereka tersingkir di babak pertama dalam dua turnamen secara beruntun yaitu Tiongkok dan Perancis Terbuka. Ketiga, banyak kesalahan yang terjadi di lapangan selama pertandingan karena terjadi miskomunikasi di antara keduanya. Keempat, setelah lolos ke babak semi final, lawan yang akan mereka hadapi (di semi final) adalah ganda campuran Tiongkok Zhang/Zhao yang sangat tangguh dan tidak pernah mereka kalahkan dalam delapan pertemuan terakhir. Oleh karena beberapa hal itu, keraguan terhadap kedua atlet ini pun cukup beralasan. Banyak orang pesismis bahwa mereka akan kembali mengukir prestasi sebagaimana yang mereka capai di tahun-tahun sebelumnya.
Akan tetapi realitas berbicara lain. Keraguan publik ternyata salah. Benar apa yang di sampaikn oleh kata bijak “Pengalaman adalah guru yang paling baik”. Owi/Butet belajar dari pengalaman kegagalan yang terjadi di masa lalu. Kegagalan tidak selalu negatif, tetapi bagaimana kita jeli melihat hal yang positif dalam titik kegagalan itu. Hal itulah yang mereka lakukan. Dengan mengusung semangat “kompak, fokus dan tenang”, mereka sanggup menumbangkan lawan-lawan yang mereka hadapi. Bahkan mereka selalu menang dua gim dalam enam pertandingan sejak penyisihan grup hingga partai final melawan ganda campuran Malaysia Chan Peng Soon/Goh Liu Ying. Kemenangan ini menjadi bukti nyata bahwa mereka masih “bisa”. Bahwa kegagalan di masa lalu bukan menjadi tolok ukur untuk menilai kemampuan seseorang dan sekaligus bukan menjadi penghalang untuk meraih prestasi di masa depan. Pengalaman masa lalu justru menjadi batu loncatan untuk meraih prestasi gemilang di masa depan.
Sempat terlintas dalam benak mereka untuk pensiun dini setelah gagal di Olimpiade London, tetapi semangat perjuangan mengalahkan ketakutan-ditambah dukungan yang begitu kuat dan masif dari pelatih, teman dan keluarga-membuat mereka kuat dan berani untuk maju menatap kesuksesan lain yang masih tersembunyi di balik bilik kehidupan. Dan pada akhirnya mimpi dan cita-cita mereka untuk berdiri di panggung terhormat Olimpiade Rio de Jeneiro Brasil tercapai dan Lagu Indonesia Raya pun dikumandangkan dengan semarak. Mereka bangga, rakyat Indonesia juga bangga. Itulah buah dari sebuah semangat perjuangan. Namun satu yang pasti bahwa keberhasilan mereka bukan tanpa kegagalan, akan tetapi mereka berani belajar dari kegagalan di masa lalu untuk melangkah ke masa depan yang cerah, indah dan membanggakan. Selamat berjuang!
Oleh: Engki Arun
Pencinta Olaharaga, tinggal di Maumere-Flores, NTT